Harapku tak sebanyak itu untuk merengkuhmu. Kalau nanti kamu suarakan penolakan atau gerak-gerak keengganan maka aku akan melangkah mundur. Namun, hingga kini aku pun masih terlalu kacau untuk berlari ke arahmu. Dan jika aku hanya mampu menyimpan namamu diam-diam, maka akan kukirim surat tanpa nama. Secarik penuh kalimat-kalimat yang tidak akan kamu ketahui siapa pengirimnya. Meski pada akhirnya, tidak akan kamu baca puisi-puisiku tentangmu yang lahir sebelum pagi.
Barangkali memang hanya Tuhan yang tahu. Sebanyak apa aku menceritakan perihal kamu dan sesering apa kamu melintas di kepalaku. Meski hanya ada pertemuan singkat malam itu. Dan kalau aku cukup beruntung, tanganku akan menulismu sepanjang waktu. Mungkin, di bawah pohon atau tepi jendela yang terang. Aku akan menunggumu hingga kita duduk berdua di atas kursi, tak lagi mampu banyak berjalan. Namun, kita bahagia.
